Diriwayatkan dari Imam Bukhari bahwasanya Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha menceritakan bahwa ketika usia Nabi Muhammad mendekati usia 40 tahun, beliau mengalami mimpi “Ru’yatu Shadiqah”.
Dalam tidurnya, beliau bermimpi melihat cahaya yang nyata, terang benderang seperti cahaya matahari pagi, yang menjadi pertanda awal kenabian dari Allah.
Pengalaman spiritual ini menimbulkan dorongan yang sangat kuat dari dalam hati seorang Muhammad untuk menyendiri, bertafakkur serta meninggalkan hiruk pikuk kehidupan Arab Quraisy yang semakin hari semakin hari semakin bobrok, jahiliyah, makin jauh menyimpang dari kebenaran.
Dalam proses kontemplasi ini, Muhammad memilih untuk meninggalkan kota Makkah dan menyendiri diatas gunung, di dalam sebuah gua kecil yang kita kenal dengan nama gua hirah.
Beliau kadang tidak pulang berhari-hari. Kadang pulang hanya mengambil bekal dan Kembali menyendiri di dalam gua hirah.
Ini adalah proses yang Allah sengaja tanamkan ke dalam hati seorang Muhammad dalam mempersiapkan dirinya bertransformasi dari seorang manusia biasa, yang akan segera menerima sebuah wahyu kerasulan sebagai "khatamul Anbiya (Nabi terakhir), sekaligus menjadi Sayyidul Anbiya (Penghulu seluruh Nabi)".
Begitu pula wahyu yang akan diturunkan kepada beliau, sebuah kitab paling agung, penyempurna kitab-kitab sebelumnya, yang akan penerang dunia, menjadi pembeda antara hak dan bathil, serta menjadi "hudan/petunjuk" bagi manusia agar bisa sukses di dunia dan di akhirat.
Persiapan ini menurut penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, “Al Baihaqi mengisahkan bahwa masa ru’ya ash shadiqah ini berlangsung selama 6 bulan sebelum wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Muhammad dipersiapkan oleh Allah seperti ini, karena wahyu yang akan segera diturunkan kepadanya adalah sesuatu yang sangat berat, sesuatu yang agung yaitu kalamullah, kalam pencipta langit dan bumi, rabbul izzah. Tuhan seluruh alam, Tuhan pemilik Arsy yang Agung.
Sesungguhnya, kami akan menurunkan kepadamu Muhammad, perkataan yang sangat berat.
Di ayat yang lain Allah menggambarkan kedahsyatan Al-Quran;
Sekiranya, Al-Quran ini kami wahyukan kepada gunung, maka kamu pasti melihatnya tunduk terpecah belah sangking takutnya kepada Allah, sangking beratnya bobot Al-Quran ini.
Di fase ini kita bisa merasakan bagaimana Allah menyiapkan seorang Muhammad untuk menerima Al-Quran untuk pertama kalinya yang sebelumnya tersimpan di Lauhil Mahfuzh kemudian akan diinstal kedalam dada Rasulullah di bumi
Persiapan di langit sebelumnya juga diwarnai dengan suasana yang sangat sakral, sebuah tempat di langit dunia Bernama Baitul Izzah, dipersiapkan untuk menjadi tempat Al-Quran yang akan dibawa secara keseluruhan dalam kapsul khusus dari Lauhil Mahfuzh kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah.
Langit sebelumnya tidak pernah dikawal sehebat ini. Langit penuh sesak oleh banyaknya malaikat-malaikat yang ditugasi menjaga misi agung ini, protokol keamanan langit dunia naik skalanya menjadi siaga 1, tidak boleh ada error sedikitpun hingga misi agung ini terlaksana dengan baik.
Keadaannya digambarkan oleh Jin-jin yang biasanya mendekat ke pintu-pintuk langit untuk mencuri berita-berita dari percakapan para malaikat, kini dijaga sangat ketat.
Mereka tidak dibiarkan untuk mendekat.
dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, [Jinn: 8] dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). [Jinn: 9] Kita bisa membayangkannya Pak, bu. Bagaimana ketatnya penjagaan misi mulia ini. Kita biasa melihat bagaimana pengawalan seorang presiden yang akan dilantik, itu tidak ada apa-apanya dibanding momen mulia ini.
Ketika persiapan di langit sudah siap, maka Allah kemudian menurunkan Al-Quran secara sekaligus dari Lauhil Mahfuzh ke Baitul Izzah dalam satu kapsul khusus yang dibawa langsung oleh malaikat paling mulia yaitu Jibril as di bulan Ramadhan:
Diturunkan dalam satu malam khusus, yang dikenal dengan lailatul qadr.
Kini giliran Muhammad, Al-Quran yang telah tiba di Baitul Izzah akan diturunkan ke bumi, diwahyukan langsung kepada sosok paling mulia, oleh malaikat paling mulia.
Tiba-tiba dalam hening kontemplasi Muhammad, di hadapan Rasulullah, tiba-tiba muncul sesosok makhluk yang tiba-tiba memerintahkan Rasulullah "IQRA", Rasulullah menjawab "maa anaa bi qari'. Kemudian JIbril memeluk erat tubuh Rasulullah sampai Rasulullah kewalahan untuk bernafas. "IQRA" kata Jibril untuk kedua kali. "Maa ana biqari' jawab Rasulullah, kemudian Jibril kembali memeluk dan memerintahkan IQRA', Muhammad tetap menjawab "maa ana bi qari'". Kemudian Jibril memeluk untuk ketiga kalinya kemdian membaca:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena).
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Setelah nabi Muhammad mengikuti membacanya, tiba-tiba Jibril hilang dari pandangan beliau. Nabi Muhammad ketakutan, kemudian bergegas keluar dari gua menuruni gunung. Begitu melihat ke langit, Nabi Muhammad melihat kembali Jibril dalam bentuk aslinya, dengan 600 sayapnya, 1 sayapnya cukup untuk memenuhi cakrawala, sangking besarnya.
Jibril berkata, ana jibril wa anta rasulullah. Muhammad memalingkan pandangannya karena takut, namun kemanapun dia memalingkan pandangannya, disitu beliau mendapati Jibril berkata, ana Jibril wa anta Rasulullah.
Nabi Muhammad, terus menuruni gunung, dalam perjalanan turunnya ada batu yang menyapanya Assalamu Alaika ya Rasulullah.
Rasulullah terus berlari dalam keadaan gemetar menuju ke rumah Ummahatul Mukminin, Khadijah. Begitu masuk Rasulullah meminta.
Zammiluni… zammiluni Datssiruni- datsiruni…
Khadijah menyelimutinya hingga rasa takutnya hilang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Khadijah setelah memberitahukan masalahnya, “Saya takut pada diri saya.” Khadijah berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena kamu adalah orang yang suka menyambung hubungan silaturahim, membantu orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang tertimpa musibah.”
Khadijah akhirnya membawa Waraqah bin Naufal bin Asad Abdul Uzza (anak paman dari Khadijah), seorang penganut agama Nashrani pada zaman jahiliyah. Dia bisa menulis dengan bahasa Arab, juga menulis Injil dengan bahasa Arab, dan itu kemudahan dari Allah.
Pada waktu itu usianya telah lanjut dan matanya sudah buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah perkataan dari anak saudaramu.
” Waraqah bertanya, “Wahai anak saudaraku, apa yang kamu telah lihat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan apa yang telah beliau alami.
Setelah Waraqah mendengar penuturan beliau, ia berkata, “Inilah Namus (Jibril) yang Allah turunkan kepada Musa.
Alangkah indahnya bila saya masih muda (kuat). Andai saja saya masih hidup saat kaummu mengeluarkanmu dari kampung halamanmu.”Di situlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah mereka akan mengeluarkan saya dari kampung saya?” Waraqah bertanya, “Benar, tidak ada orang yang membawa seperti apa yang kamu bawa, kecuali orang tersebut akan dimusuhi.
Saya berjanji seandainya saya mendapatkan harimu itu, maka saya akan menolongmu dengan pertolongan yang maksimal.” Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu mengalami kekosongan beberapa waktu lamanya.